PERILAKU AGAMA MENURUT BHVIORISME VERSI ABDUL GOFUR

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Aliran yang paling keras menantang psikoanalisa atas prilaku manusia dan menekankan pada metode yang lebih objektif adalah madzhab yang biasa disebut Behaviorisme (perilaku). Mereka yang bekerja dibawah label Behavioris tidak memiliki metode yang sama, namun mereka memiliki pandangan yang sama tentang hakikat manusia dan tujuan psikologi. Semua yang tergabung dalam aliran Behaviorisme sependirian dengan kecurigaan mereka terhadap kesadaran (consciousness) sebagai pegangan pengertian yang berguna dan melepaskan acuan budi, psike, atau jiwa. Manusia didorong untuk berbuat oleh kekuatan-kekuatan yang ada didalam lingkungannya, dan menggapainya sebagai makhluk fisiologi.
Dibawah naungan Behaviorisme terdapat banyak ahli Psikologi yang menekankan bahwa Psikologi sebagai ilmu sosial perlu memurnikan metodenya dengan belajar langsung dari ilmu-ilmu sejenisnya dan juga pengamatan, peramalan, serta pengendalian perilaku manusia, sehingga dengan demikian menjadi lebih empiris dan eksperimental dalam analisisnya terhadap perilaku manusia. Para ahli psikologi ini diantaranya yaitu: J.B. Watson, B.F. Skinner, Pavlov, William Sargant. Untuk lebih memahami Beragama Dalam Perspektif Behaviourisme kelompok kami akan mempresentasikannya.
B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apa pengertian Behaviorisme ?
2.      Bagaimana teori Behaviorisme ?
3.      Apa saja Pokok-pokok Teori Pengkondisian ?
4.      Bagaimana aliran Behaviorisme dalam pandangan Islam ?
5.      Bagaimana pendapat Rolston mengenai Behaviorisme ?



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Behaviorisme
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan.
B.     Teori Behaviorisme
John B. Watson adalah seorang ahli psikologi Amerika yang pada awal abad ke-20 mulai memperkenalkan gerakan Behaviourisme, sejak itu Behaviuorisme telah dikenal dengan analisis perilakunya dengan mengembangkan teknik-teknik guna mengamati perilaku dalam lingkungan yang dikendalikan untuk mengukur tanggapan, dan untuk meramal pola perilaku selanjutnya. Dengan menggunakan prosedur, misalnya seperti percobaan atau eksperimen yang dikendalikan, analisis faktor, studi korelasi, analisis isi, dan pengukuran tepat mengenai tanggapan neurologis dengan menggunakan satu atau lebih teknik-teknik yang dipakai untuk pengamatan, cara itu adalah produk madzhab ini. Behaviorisme amat mendalam dan berakar dalam psikologi Amerika, sehingga madzhab ini paling berpengaruh luas.
Tidak mengherankan jika Behaviorisme tidak memberi perhatian banyak kepada agama, hal ini dikarenakan pengandaian mereka bahwa perilaku keagamaan adalah sama halnya dengan segala perilaku lain, yang merupakan akibat dari proses tanggapan fisiologis manusia. Meskipun demikian madzhab Behaviorisme penting bagi pengembangan psikologi agama yang komprehensif, alasan pertama karena, perilaku keagamaan kadang-kadang ditafsirkan dari sudut pandangnya.
kedua, karena Behaviorisme memiliki pengandaian tentnag manusia yang berat bernada teologis. Melalui cipta (reason) orang dapat menilai membandingkan dan memutuskan suatu tindakan terhadap stimulus tertentu. Perasaan intelek ini dalam agama merupakan suatu kenyataan yang dapat dilihat, terlebih dalam agama modern, peranan dan fungsi reason ini sangat menentukan.
Kaum Behavioris terdahulu seperti Watson, percaya bahwa perilaku manusia ditentukan oleh pengaruh lingkungan. Teori Behavioral bersifat deterministik, reduksionistik, atomistik, matrealistik, dan mekanistik; dalam artian bahwa perilaku manusia dapat dijelaskan atau direduksi menjadi hubungan stimulus-respons dan bahwa yang dianggap nyata hanyalah perilaku yang dapat diamati.
C.    Pokok-Pokok Teori Pengkondisian

1)      Pengkondisian Klasik dan Pertobatan
William Sargant, seorang praktisi inggris menunjukkan bahwa penggunaan teori pengkondisian di bidang agama ada peluangnya. Dalam buku “The battle for the maid”, Sargant menyajikan teori yang menarik, meskipun sempit, tentang pertobatan (conversion) berdasarkan teori Pavlov. Sargant menggunakan dua konsep Pavlov yaitu: rangsangan transmarginal dan penghambatan transmarginal dari exsperimennya itu ditarik kesimpulan bahwa, Pavlov menemukan lontaran rangsangan yang berlebih dapat membahayakan sistem neorologis binatang, dengan menciptakan pola tanggapan yang aneh.
Rangsangan yang klewat batas juga menghasilkan penghambatan yang melebihi batas (transmarginal stimulation). Pavlov mau menyebut keterangsangan yang melebihi ambang kemampuan binatang untuk membari tanggapan yang dikondisikan. Rangsangan yang diperpanjang melebihi kebutuhan itu memperlemah atau merusak pola tanggapan yang sudah biasa terjadi, gejala ini oleh Pavlov disebut penghambatan transmarginal(Transmarginal Inhibition).
Sargant mengandaikan bahwa manusia memberi reasksi atau tanggapan menurut pola yang disebut pavlov di atas. Dan berdasarkan pendapat itu Sargant menafsirkan pertobatan keagamaan. Rangsangan transmarginal yang dibuat melebihi batas dan prilaku yang diakibatkan, pada akhirnya dapat berakibat dalam “Kegiatan otak yang dapat menambah secara berarti kemampuan orang untuk menerima saran sehingga orang itu menjadi mudah dipengaruhi oleh lingkungannya”.
Sargant melihat bahwa rasa takut yang ditimbulkan seperti, karena membayangkan api neraka, yang diciptakan lewat khotbah-khotbah yanng berapi-api merupakan keadaan kebangkitan emosi yang hebat yang diciptakan secara artifisial, buatan. Orang-orang yang bertobat adalah dibebaskan dari masa kedosaan di masa lampau dan terbuka untuk peyakinan tentang hidup baru yang harus mereka jalani, keadaan mereka yang mudah menerima saran membuat mereka juga mudah menerima tanpa kritis tatanan ajaran dan praktik keagamaan baru.
Sesungguhnya emosi memegang peranan penting dalam setiap tindakan agama, tidak ada satu sikap atau tindakan agama seseorang dapat dipahami, tanpa mengindahkan emosinya. Oleh karena itu dalam memahami perkembangan jiwa agama pada seseorang, perlu diperhatikan seluruh fungsi-fungsi jiwanya keseluruhan.
2)      Pengkodisian Operan (Operant Conditioning)
B.F. Skinner membuat perubahan besar atas teori Pavlov tentang Pengkondisian Klasik. Pengkondisian Operan, sama halnya dengan pengkondisian klasik yang dibangun atas pendapat bahwa ganjaran (reward)menjadi penyebab agar perbuatan diulang atau diperkuat. berbeda dengan Pengkondisian Klasik bahwa lingkungan yang menanggapi makhluk, dalam Pengkondisian Operan makhluk menanggapi lingkungan. Tanggapan itu merupakan cara untuk mengubah lingkungan, guna mendapatkan kepuasan.
Skinner berpendapat bahwa manusia berbuat sesuatu dalam lingkungannya untuk mendatangkan akibat-akibat, entah untuk mendatangkan pemenuhan kebutuhan atau untuk menghindari datangnya hukuman atau pengalaman yang tidak enak. Contohnya orang yang haus akan berusaha mendapatkan minuman, orang yang terkena jarum disepatunya akan berusaha mengeluarkannya dari sepatunya agar tidak tertusuk kakinya.
Mutu pemuas tindakan untuk memenuhi kebutuhan menambah kemungkinan bahwa pada kesempatan lain tindakan yang sama diulang, dan sebaliknya, tindakan yang mendatangkan akibat yang tidak enak, pada kesempatan lain cenderung dihindari. Menurut skinner segala perbuatan dan tindakan manusia dapat dimengerti dalam kerangka pemikiran itu, begitu pula manusia dalam beragama. Ia juga berpendapat bahwa agama masih diperlukan oleh orang-orang awam, terutama sebagai cara untuk mendorong mereka menangguhkan pemuasan kebutuhan masa kini.
3)      Tindakan Memperkuat
Pendekatan Skinner terhadap agama harus dibahas dengan hati-hati, seperti Sargant, Skinner tidak menyajikan dalam tulisan-tulisannya uraian sistematis tentang Agama. Meskipun demikian pendirian Skinner yang Behavioristis itu merupakan kerangka dari berbagai pendapat yang tidak di kembangkan, tetapi jelas berkaitan dengan hakikat prilaku keagamaan. Yang paling menonjol adalah pengamatannya tentang pemikiran, pengetahuan, dan pembicaraan keagamaan yang dia sempitkan dalam istilah-istilah Behavioristis. Semua itu merupakan cara bagaimana cara manusia, seperti makhluk-makhluk lain dengan Pengkondisian Operan belajar hidup di Dunia yang dikuasai oleh hukum ganjaran (reward) dan hukuman.
Perasaan dan keadaan jiwa tidak lain hanyalah cara yang dianggap sesuai untuk mengatakan prilaku yang diakibatkan oleh hukum Pengkondisian Operan. Dalam pandangan Skinner kegiatan keagamaan diulangi karena menjadi faktor penguat sebagai prilaku yang meredakan ketegangan. Kelembagaan agama itu merupakan ”isme” sosial yang lahir dari faktor penguat, lembaga sosial atau kemasyarakatan menjaga dan mempertahankan prilaku dan kebiasaan masyarakat, anak dilahirkan kedalam masyarakat itu seperti dia dilahirkan kedalam lingkungan fisiknya.
Lembaga Keagamaan merupakan bentuk khusus dari tatanan sosial dimana “baik” dan “buruk” menjadi “suci” dan “berdosa”. Jadi lembaga keagamaan bertahan hidup karena fungsinya sebagai faktor penguat. Dalam pandangan Behavioristis manusia sekarang dapat mengendalikan nasibnya sendiri karena manusia tahu apa yang harus dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya.
D.    Pendapat Rolston Tentang Behaviorisme
Mengenai logika behaviorisme, Rolston mengatakan apabila kita mencoba untuk mengikuti logika berpikir behavioris, maka model behavioris memiliki sisi kebenaran tertentu. Katakana saja, kalangan behavioris memuji rasionalitas. Mereka bangga akan status ilmiah dari keyakinan mereka dan seringkali menganggap “ perilaku keagamaan ” sebagai tindakan kasar. Namun keistimewaan  apa yang menjadi dasar kekhususan keyakinan mereka karena disini semua keyakinan teolog dan ilmuwan harus dipampang agar bisa dikritisi teori-teorinya. Dengan demikian Rolston mengatakan bahwa diantara sekian perilaku manusia yang paling kompleks adalah pembelajaran dalam bidang ilmu dan agama, tetapi menurutnya setelah mengusir fiksi kuno mengenai kehidupan mental, kalangan behavioris justru kehilangan otoritas dalam menilai teori-teori mereka sendiri, mereka justru dikritik tidak cukup berbicara bila bersaing dengan kritik ilmu ataupun kritik agama.
            Sedangkan mengenai behavioral dan agama, Rolston mengatakan bahwa anugrah yang diterima manusia setelah rasionalitas, moralitas dan nilai adalah kemampuan untuk mencintai. Kebajikan ini seringkali diidentikkan oleh teolog sebagai tanda suci hadirnya Tuhan dalam diri manusia. Namun jika cinta yang kita miliki satu sama lain direduksi menjadi output yang merespon stimulus kausalitas, maka manusia nyaris sulit disebut manusia dan tak lagi tersisi kesucian dalam dirinya. Tetapi menurut Rolston yang ingin dikemukakan adalah apa yang oleh kalangan teolog disebut sebagai “ cinta tulus ” untuk bebas dipilih dan dianugerahkan pada pihak lain? Menurutnya cinta semacam itu muncul dan manusia mungkin saja merespon atas dasar panggilan perasaan saling membutuhkan satu sama lian, suatu stimulus dan manusia lalu mencintai sebagai wujud responnya. Manusia tidak menjalankan sumber daya sendiri namun dengan mengambil doa suci. Maka untuk menghadirkan “ cinta tulus ” ini akan menjadi kisah fiksi belaka. Tak ada doa kecil, tak ada bangsawan, yang ada hanyalah kausalitas ilmiah. Rolston mengatakan menurut definisi Karl Barth yang nantinya akan diuji, Tuhan adalah “ Yang Maha Suci ” yang bebas mencintai dan manusia adalah anak-anak Tuhan yang membayangkan Tuhan karena mereka mencintai dan bebas. Namun menurut Rolston ada gengsi bahwa behaviorisme berfikir dan cinta harus dianggap tidak koheren dan karenanya perlu disingkirkan dari manusia.
            Suatu pandangan mekanis dan pasif tentang perbuatan manusia telah mensekulerkan hidup, mengabaikan atau menyangkal dimensi yang “ disakralkan ”. pda sisi kausalitas, agama tampak seperti suatu penguat sejarah. Fungsi ini telah dijalankan oleh bentuk-bentuk kelembagaan dimana agama merupakan suatu pembentuk perilaku. Hal ini seperti suatu efek, bahwa agama bagi seseorang merupakan respon terhadaop suatu stimulus “ sociorelijius ”. oleh karena itu kepercayaan agama seperti keyakinan bahwa hidup itu sacral, adanya ampunan dosa, yakin bahwa dunia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa ( tidak bisa dipercaya secara rasional ) karena kepercayaan-kepercayaan tersebut merupakan peroduk penguatan-penguatan yang membentuk sebab-sebab yang diperlukan oleh kepercayaan tersebut. Maka menurut Rolston, selama agama klasik dianggap sebagai pembentuk prilaku dan penentu perbuatan normative, maka agama-agama tersebut dinilai kaum behavioris telah berfungsi, tidak sekedar menjadi ajaran naïf yang tak efektif, tak ilmiah terutama karena penekanannya pada penggunaan penjelasan mental dan tahayul, dank arena agama dianggap sebagai dampak ide-ide ilusi dari agensi manusia dan tanggung jawab. Maka Rolston menyatakan bahwa Skinner mengklaim “ Tuhan merupakan pola arketip dengan suatu fiksi yang penjelas ”.
            Menurut Rolston agama-agama klasik tidak memuat kode-kode moral tertentu yang mempertahankan nilai-nilai kelompok dan dalam beberapa hal kode-kode moral tersebut dipelihara keberadaannya. Agama klasik juga memuat “ taboo ” dan “ dogma ” yang seskali terhubung dengan kode-kode tersebut atau memberikan sangsi pada saat hilangnya penguatan yang lebih rasional. Rolston mengatakan perilaku agama semacam itu bisa dieliminir dengan perilaku yang lebih ilmiah. Tegasnya respon etika positif tidak tersambung dengan dukungan keagamaan dan dapat dicapai oleh perbuatan manusia yang direkayasa secara ilmiah, kehidupan yang lebih baik diupayakan dengan perilaku yang lebih baik melalui ilmu behavioral. Disini ilmu behavioral cukup meloristic, melalui ilmu ini kita dapat lebih cepat lagi mewujudkan masyarakat yang lebih humanis. Ilmu behavioral menjadi penyelamat pengganti dan mengajukan utopia-utopianya serta model-model kehidupan yang lebih baik dalam ajaran Tuhan. Menurut Skinner kita memiliki teknologi fisik, biologi dan behavioral yang diperlukan untuk menyelamatkan hidup kita.
            Mengenai Psikologi Kognitif, manusia sebagai prosesor kognitif. Rolston, menyatakan bahwa penyerdehanaan behaviorisme radikal belakangan ini telah membelokkan psikologi pada kognisi. Menurutnya, bisa jadi hal ini masih terlalu dini untuk menyebutkan tren ini sebagai suatu paradigma psikologi, apalagi membahas dampaknya terhadap aqidah agama. Model psikologi perlu digambarkan sebagai perangkat cibernetik, artinya psikologi dapat mengabaikan kesadaran. Namun kita tetap bisa menerapakan model-model tersebut secara empiris dan bisa memperlihatkan hasil kita berdasar rata-rata statistic dan eksperimen yang berulang.
            Namun Rolston tidak dapat mengabaikan proses kognisi, menurutnya teori manapun harus melibatkan “peta kognisi” dalam manusia, sementara tak ada tuntutan untuk memasukkan kesadaran. Rolston berkata, ini seperti layaknya computer untuk menjelaskan berbagai program untuk mengolah dan menata tanpa perlu mengasumsi adanya kesadaran dalam computer tersebut, tetapi tatap saja ada perbedaan vital antara organisme hidup yang memiliki masalah psikologis dengan computer yang diciptakan manusia sebagai modelnya. Komputer adalah bikinin manusia, ia tetap saja mesin yang dirancang oleh kecerdasan manusia. Sebaliknya organisme merupakan produk evolusi alam.
            Dalam kognisi manusia, kita bisa bercerita mengungkapkan kembali dan menggunakan pengetahuan. Manusai merupakan prosesor informasi yang sangat umum. Michael G. Wessells menyebutkan bahwa sebagian besar teori kognitif bersifat mekanis dan dalam rangka memperkuat asumsi bahwa kognisi manusia adalah suatu spesies pemroses informasi. Namun manusia adalah prosesor kognitif yang berkesadaran dan dalam banyak hal, dimensi sadarnya nampaknya lebih menonjol dari pada daya kognisi yang terdapat pada mesin computer ciptaan manusia. Jika demikian, kognisi tidak bisa lagi disebut behaviorisme karena behaviorisme menuntut kita agar menghapuskan hal-hal yang telah kita terima kembali.
            Sejumlah pakar akan mengatakan bahwa sekalipun mengakui adanya kesadaran, kita bisa tetap mengakui psikologi ilmiah. Melalui suatu pengalaman campuran dan refleksi atas pengalaman, psikologi kognitif bisa menjelaskan proses-proses tersebut sebagaia memori jangka panjang dan memori jangka pendek, pengakuan pola, perhatian pola, perhatian selektif, pemecahan masalah, pembentukan konsep dan pemakaian bahasa.
            Namun apakah kita telah memiliki suatu model yang cukup competen dengan seluruh isi manusiawi? Inilah keterbatasan dari model cybernetic. Bahkan dalam model biologis sekalipun, prosesor kognitif tidak mengalami rasa sakit. Maka menurut Rolston, di sini kita menginginkan agar lebih peduli dengan psikologi yang memiliki dimensi pengalaman, yang menjadi bentuk paling menonjol dalam kehidupan alami. Maka, lebih lanjut menurut Rolston, dalam model manusiawi, prosesor kognisi tidak merasakan rasa malu atau bangga, tidak memiliki marah harga diri, rasa takut ataupun harapan, tidak tertarik dengan jabatan, mengalami perasaan gagal, mengalami krisis identitas atau menipu diri sendiri demi mencegah kecaman diri, tidak bisa menyelesaikan perbedaan pendapat dalam menghadapi praktek sosial yang tak bermoral, tak dapat menghargai arti ketidak patuhan sipil yang diharapkan untuk direformasi , tidak menangis atau membaca doa pada saat menyantap makanan.
            Kata Rolston, prosesor kognitif tidak memiliki emosi atau perasaan, suatu kategori yang oleh para psikolog lain dianggap sangat penting. Katakan saja, R.B Zajonc, seorang psikolog, menyesalkan, “psikologi kognisi kontemporer” ternyata mengabaikan afeksi. Istilah afeksi adalah tingkah laku, emosi, perasaan dan sentiment tidak pernah muncul dalam indeks istilah karya-karya besar pakar kognitifis. Prosesor kognitif tidak dapat dijalankan pada masalah cinta, “keimanan” atau kebebasan, dorongan rasa bersalah, pencarian ampunan dan hal-hal lain yang sering dikemukakan oleh para teolog. Secara sosiologis, dikatakan Rolston, bahwa prosesor tidak memiliki bentuk budaya, tidak memiliki karir unik yang membentuk serangkaian kisah naratif, bahkan mereka tidak memiliki pahlawan dan penyelamat, mereka tidak mati karena dosa-dosa di dunia, melawan kerajaan Tuhan atau tertarik pada ideology lain dalam memaknai hidup dan sejara. Dengan demikian, menurut rolston, bahwa model “prosesor kognisi” tidak cukup layak untuk memahami kepribadian manusia.
E.     Aliran Behaviorisme Dalam Pandangan Islam
Ajaran islam diharapkan dapat mengkaji perilaku dengan cara mempertimbangkan jiwa dan badan, perilaku manusia hanya merupakan interpretasi dari kejiwaan manusia. Jadi tidak hanya dari satu aspek saja. Yang diperkuat dengan pendapat dari M. Ramli, yaitu : “Al-Yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum nikmati wa radhitu islami dina”. Artinya dalam aliran behaviorisme, terujinya suatu kejiwaan manusia dengan suatu eksperimental, observasi dan uji coba memang yang dilakuakan tokoh-tokoh behaviorisme adalah benar karena tanpa uji coba kita tidak bisa menilai seseorang, dan pengkajian seharusnya dimulai dengan rumusan menurut Allah. Seperti firman Allah QS. At – Taubat ayat 16 : Artinya : “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan ( begitu saja ), sedang Allah belum mengetahui ( dalam kenyataan ) orang – orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengeahui apa yang kamu kerjakan”. Di dalam islam ada yang disebut dengan ujian, dalam firman Allah QS. Ash-Shaffaat ayat 106 : Artinya : “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata”. Aliran behaviorisme mempelajari terbentuknya perilaku manusia berdasarkan konsep stimulus dan respon, yang berarti perilaku manusia sangat terkondisi oleh lingkungan. Satu – satunya motivasi yang mendorong manusia bertingkah laku adalah penyesuaian diri dengan lingkungan. Konsep ini mengisyaratkan bahwa ketika manusia dilahirkan, ia tidak membawa bakat apa – apa dan mengingkari potensi alami manusia. Aliran behaviorisme menolak determinan perilaku manusia, karena manusia berkembang atas dasar stimulasi dari lingkungannya. Pandangan ini beranggapan bahwa manusia tidak memiliki kesempatan untuk menentukan dirinya sendiri, oleh karena itu aliran ini memiliki kecenderungan untuk mereduksi manusia. Artinya, manusia tidak memiliki jiwa kemauan dan kebebeasan untuk menentukan pilihannya sendiri.
Dalam hal ini kiranya perlu dipertimbangkan bahwa manusia sebagai makhluk hedonis, padahal manusia juga memiliki kehendak untuk mengabdi pada Tuhannya dengan tulus ikhlas dan penuh kesadaran. Pandangan ini mengangkat derajat manusia ke tempat yang teramat tinggi. Ia seakan-akan pemilik akal budi yang hebat serta kebebebasan penuh untuk berbuat sesuatu yang dianggap baik dan sesuai dengan dirinya. Kaidah dan hukum belajar ini dapat dianggap sebagai keunggulan dari aliran behaviorisme dalam menelaah konsep manusia yang dikaitkan dengan dengan salah satu fenomena sunnatullah, yaitu bahwa manusia dapat mengubah nasib dirinya sendiri.Seperti firman Allah SWT pada QS Ar – Ra’d ayat 11 yang memiliki arti : “ Bagi manusia ada malaika – malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan dibelakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali – kali tak ada pelindung mereka selain Dia ”.












BAB III
PENUTUP


A.    Simpulan

Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan.
Dalam perspektif modern, manusia dilihat sebagai objek kehidupan. Sebab menurut Behaviorisme bahwa manusia adalah makhluk yang “terbentuk” oleh lingkungan. Karena itu dialog merupakan cara yang efektif dan efisien dalam menentukan proses “adaptasi” terhadap kehidupan ini. Proses dialog berarti belajar melibatkan stimulasi dan respons, dari pandangan Behaviorisme kita memperoleh teori tentang yang disebut Pengkondisian Klasik, yang berisi (transmarginal stimulation) dan (Transmarginal Inhibition).
Dan Pertobatan, yaitu perubahan perilaku yang kurang lebih dari jahat menjadi baik, dari kenistaan menjadi kebenaran, dari kegiatan acuh menjadi kegiatan rohani. Pengkondisian Operan makhluk menanggapi lingkungan, tanggapan itu merupakan cara untuk mengubah lingkungan, guna mendapatkan kepuasan. Tindakan Penguat, yaitu kegiatan keagamaan diulangi karena menjadi faktor penguat sebagai prilaku yang meredakan ketegangan.







DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), cet. xv.
Hardjana, A.M., Dialog Psikologi dan Agama, (Jogjakartaa: Kanisius, 199), cet. I.
Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005).
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Agama, (Bandung: Mizan, 2005), cet v




Komentar

Postingan populer dari blog ini

soal pramuka tali temali

Tugas Meresum Perjalanan Obat Dalam Tubuh Manusia versi Abdul Gofur

SOAL AKIDAH AKHLAK VERSI ABDUL GOFUR