MASYARAKAT MULTIKULTURAL VERSI ABDUL GOFUR
MASYARAKAT MULTIKULTURAL
Multikultural
berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata
dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari
fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan
bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut
multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan
konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang
menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan
keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai
multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang
mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan
hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu
produktivitas.
Multikultur
baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi.
Pada penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu.
Wacana demokrasi itu ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam
masyarakat. Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan
dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan
kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.
Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat” (plural society) sehingga corak masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mozaik tersebut. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak – puncak kebudayaan di daerah.
Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat” (plural society) sehingga corak masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mozaik tersebut. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak – puncak kebudayaan di daerah.
Hal yang harus kita waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku
di dalam tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama
memiliki bermacam-macam kebudayaan yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat
yang tersebar di seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke kita telah
banyak mengenal suku-suku yang majemuk, seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku
Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai
keunggulan dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Begitu kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah banyak kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan adanya paham sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu.
Begitu kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah banyak kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan adanya paham sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu.
Paham Sukuisme sempit inilah yang akan membawa kepada perpecahan. Seperti
konflik di Timur-Timur, di Aceh, di Ambon, dan yang lainya. Entah konflik itu
muncul semata-mata karena perselisihan diantara masyarakat sendiri atau ada
“sang dalang” dan provokator yang sengaja menjadi penyulut konflik. Mereka yang
tidak menginginkan sebuah Indonesia yang utuh dan kokoh dengan
keanekaragamannya. Untuk itu kita harus berusaha keras agar kebhinekaan yang
kita banggakan ini tak sampai meretas simpul-simpul persatuan yang telah diikat
dengan paham kebangsaan oleh bung karno dan para pejuang kita.
Hal ini disadari betul oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung makna yang luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh. Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan moral dan spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada masa-masa pasca kemerdekaan untuk senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para penjajah. Walaupun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.
Kemudian munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran akan
perlunya mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina
persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda. Yang kemudian dikenal
sebagi cikal bakal munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme
ini juga tetap dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana
dapat dilihat, antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI. Betapa para pendiri
republik ini sangat menghargai pluralisme, perbedaan (multikulturalisme). Baik
dalam konteks sosial maupun politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata” dalam
Piagam Jakarta, pun dapat dipahami dalam konteks menghargai sebuah
multikulturalisme dalam arti luas.
Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus
jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu
Pancasila, yang seharusnya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok
sosial yang multikultural, multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini
Pancasila haruslah terbuka. Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya
ideologi sosial politik yang pluralistik.
Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.
Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.
Masyarakat
multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam
kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi
mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah,
adat serta kebiasaan
Karakteristik
Masyarakat menurut Pierre L. Va den Berghe :
· Terjadi
segmentasi ke dalam kelompok sub budaya yang saling berbeda
· Memiliki
struktur yang terbagi kedalam lembaga non komplementer
· Kurang
mengembangkan konsensus diantara anggota terhadap nilai yang bersifat dasar.
· Secara
relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling tergantung secara
ekonomi.
· Adanya
dominasi politik suatu kelompok atas kelompok lain
Masyarakat Indonesia yang multikultural secara horisontal
(diferensiasi)
· Perbedaan
Fisik atau ras
· Perbedaan
suku bangsa
Keadaan
geografis yang membagi wilayah Indonesia atas kurang lebih 3.000 pulau yang
tersebar disuatu daerah ekuator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke
barat dan lebih dari 1.000 mil dari utara ke selatan, merupakan faktor yang
sangat besar pengaruhnya terhadap terciptanya pluralitas suku bangsa di
Indonesia. Ketika nenek moyang bangsa Indonesia yang sekarang ini mula-mula
sekali datang secara bergelombang sebagai emigran dari daerah yang sekarang
kita kenal sebagai daerah Tiongkok Selatan pada kira-kira 2.000 tahun sebelum
masehi, keadaan geografis serupa itu telah memaksa mereka untuk harus tinggal
menetap di daerah yang terpisah-pisah satu sama lain. Isolasi geografis yang
demikian di kemudian hari mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau
atau sebagian dari suatu pulau di Nusantara ini tumbuh menjadi kesatuan suku
bangsa yang sedikit banyak terisolasi dari kesatuan suku bangsa yang lain. Tiap
kesatuan suku bangsa terdiri dari sejumlah orang yang dipersatukan oleh
ikatan-ikatan emosional, serta memandang diri mereka masing-masing
sebagai suatu jenis tersendiri. Dengan perkecualian yang sangat kecil ,
mereka pada umumnya memiliki bahasa dan warisan kebudayaan yang sama. Lebih
daripada itu, mereka biasanya mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki
asal-usul keturunan yang sama, satu kepercayaan yang seringkali di dukung oleh mitos-mitos
yang hidup di dalam masyarakat.
· Perbedaan
agama
Bahwa
Indonesia terletak di antara samudera Indonesia dan samudera Pacifik, sangat
mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Oleh
karena letaknya yang berada di tengah-tengah lalu-lintas perdagangan laut
melalui kedua samudera tersebut, maka masyarakat Indonesia telah sejak lama
sekali memperoleh berbagai-bagai pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui para
pedagang asing, dari mulai pengaruh kebudayaan India, Cina, Persia, sampai
Eropa; sedangkan Jepang yang pernah menduduki Indonesia untuk beberapa tahun
agak kurang berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat setempat.
· Perbedaan
jenis kelamin
Masyarakat
Indonesia yang multikultural secara vertikal (stratifikasi)
Perbedaan
individu/ kelompok secara hirakhis dalam kelas-kelas yang berbda tingkatan
dalam suatu sistem social
Faktor
penyebab masyarakat multikultural
· Latar
belakang historis
· Kondisi
geografis
Iklim
yang berbeda –beda dan struktur tanah yang tidak sama di antara berbagai-bagai
daaerah di kelpulauan Nusantara ini, merupakan faktor yang menciptakan
pluralitas regional di Indonesia. Perbedaaan curah hujan dan kesuburan tanah
merupakan kondisi yang menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang berbeda
di Indonesia, yaini : daerah pertanian sawah (wet rice cultivation) yang
terutama banyak dijumpai di pulau Jawa dan Bali, serta daerah pertanian ladang
(shifting cultivation) yang banyak dijumpai di luar Jawa. Perbedaan lingkungan
ekologis tersebut menjadi sebab bagi terjadinya kontras antara Jawa dan luar
Jawa di dalam bidang kependudukan, ekonomi, dan sosial budaya.
· Keterbukaan
terhadap kebudayaan luar
Adanya
kontak antar kebudayaan, yaitu antara budaya Indonesia dengan budaya asing yang
berlangsung selama ini telah membawa perubahan besar, kontak mana terjadi
melalui kontak langsung maupun tidak langsung seperti melalui pendudukan pada
masa-masa sebelum kemerdekaan, politik, pendidikan, kerjasama ekonomi dan
pertahanan, ataupun pariwisata. Sebagi contoh, ketika saluran diplomatik dua
negara atau lebih telah dibuka, maka akan terjadilah hubungan sosial secara
langsung. Sarana-sarana komunikasi seperti media cetak, radio, tape, Televisi,
internet serta berbagai audio-visual lainnya merupakan kontak tidak
langsung. Hubungan sosial dapat berupa kedatangan parawisatawan, yang kemudian
mereka menunjukkan kebiasaan–kebiasaannya, dengan berdansa ketika berada di
tempat hiburan, menggunakan pakaian minim ketika di pantai, atau berperilaku
yang terkadang kurang sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Tempat wisata pada
umumnya di huni oleh masyarakat yang masih sederhana, budaya penduduk setempat
berbeda dengan budaya wisatawan, begitu pula dengan perilakunya. Pertemuan
antar dua kebudayaan itu memungkinkan terjadinya proses penerobosan (penetrasi)
kebudayaan. Penetrasi (penerobosan) kebudayaan adalah suatu unsur
atau kompleks unsur kebudayaan asing yang mempengaruhi kebudayaan setempat
sedemikian intensifnya, sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan besar dari
kebudayaan yang bersangkutan.
Masalah
yang timbul akibat adanya masyarakat multicultural Berdasarkan tingkatannya
· Tingkat
ideology atau gagasan
· Tingkat
politik
Setiap
masyarakat mengenal pembagian kewenangan atau otoritas yang tentunya terjadi
secara tidak merata, fenomena ini senantiasa mengakibatkan timbulnya dua macam
kategori sosial dalam setiap masyarakat, yaini mereka yang memiliki otoritas
dan mereka yang tidak memiliki otoritas. Pembagian otoritas yang bersifat
dikotomis itu oleh para penganut aliran konflik dianggap sebagai sumber
timbulnya pertentangan-pertentangan sosial dalam setiap masyarakat; keadaan ini
bisa terjadi karena dengan pembagian otoritas seperti itu menimbulkan
kepentingan-kepentingan yang berlawanan satu sama lain, Pembagian otoritas
seperti itu mengakibatkan mereka yang menduduki posisi sebagai pemegang
otoritas, biasanya disebut sebagai kelompok kepentingan (interest group), dan
mereka yang tidak memiliki otoritas, biasa disebut sebagai kelompok semu
(quasi-group), memiliki kepentingan-kepentingan, yang baik secara
substansial maupun arahnya, berlawanan satu sama lain.
Berdasarkan
jenisnya:
· Rasial
( RAS)
· Antar
suku bangsa
· Antar
agama
Alternatif
pemecahan masalah yang ditimbulkan oleh masyarakat multicultural :
· Asimilasi
Proses
di mana seseorang meninggalkan tradisi budaya mereka sendiri untuk menjadi dari
bagian dari budaya yang berbeda. Dengan demikian kelompok etnis yang berbeda
secara bertahap dapat mengadopsi budaya dan nilai-nilai yang ada dalam kelompok
besar, sehingga setelah beberapa generasi akan menjadi bagian dari masyarakat
tersebut
· Integrasi
Merupakan
keadaan ketika kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap konformistis,
terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, tetapi dengan tetap mempertahankan
kebudayaan mereka sendiri
· Self
regregation
Suatu
kelompok etnis mengasingkan diri dari dari kebudayaan mayoritas, sehingga
interaksi antar kelompok sedikit sekali, atau tidak terjadi. Sehingga potensi
konflik menjadi kecil
· Pluralisme
Suatu
masyarakat di mana kelompok-kelompok sub ordinat tidak harus mengorbankan gaya
hidup dan tradisi mereka, bahkan kebudayaan kelompok-kelompok tersebut memiliki
pengaruh terhadap kebudayaan masyarakat secara keseluruhan
DAFTAR PUSTAKA
www.google.com/http://file.upi.edu/Direktori/B%20%20FPIPS/JUR.%20PEND.%20SEJARAH/195903051989011%20-%20SYARIF%20MOEIS/MAKALAH%20%205.pdf
Komentar
Posting Komentar