ARTIKEL KESEHATAN KEPERAWATAN EFEK SAMPING OBAT VERSI ABDUL GOFUR

ARTIKEL KESEHATAN KEPERAWATAN
EFEK SAMPING OBAT


A.
           Pengertian Efek Samping Obat
Menurut definisi Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO 1970) efek samping suatu obat adalah segala sesuatu khasiat yang tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang dimaksudkan pada dosis yang dianjurkan.
Pengertian efek samping adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah diketahui.

B.            Masalah Efek Samping Obat
Beberapa contoh efek samping misalnya:
1.      Reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik),
2.      Hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek farmakologik yang berlebihan)
3.      Osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid jangka lama (efek samping karena penggunaan jangka lama)
4.      Hipertensi karena penghentian pemberian klonidin (gejala penghentian obat - withdrawal syndrome)
5.      Fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan talidomid pada masa awal kehamilan (efek teratogenik), dan sebagainya.
Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya:
1.      Kegagalan pengobatan
2.      Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug-induced disease atau iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh pasien
3.      Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit yang baru tadi (dampak ekonomik).
4.      Efek psikologik terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya kepatuhan berobat.
Efek samping adakalanya tidak dapat dihindarkan, misalnya rasa mual pada penggunaan digoksin, ergotamin, atau estrogen dengan dosis yang melebihi dosis normal. Kadang efek samping merupakan kelanjutan efek utama sampai tingkat yang tidak diinginkan, misalnya rasa kantuk pada fenobarbital, bila digunakan sebagai obat epilepsi. Bila efek samping terlalu hebat dapat dilawan dengan obat lain misalnya obat antimual (meklizine, proklorperazin) atau obat anti mengantuk (kofein, amfetamin).
Tidak semua efek samping dapat dideteksi secara mudah dalam tahap awal, kecuali kalau yang terjadi adalah bentuk-bentuk yang berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis.

C.           Pembagian Efek Samping
Efek samping obat dapat dikelompokkan/diklasifikasi dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada/tidaknya hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi efek samping yang terjadi, dan sebagainya. Namun mungkin pembagian yang paling praktis dan paling mudah diingat dalam melakukan pengobatan adalah sebagai berikut:
Efek samping yang dapat diperkirakan, terbagi atas:
1.      Aksi farmakologik yang berlebihan
Terjadinya efek farmakologik yang berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat disebabkan karena dosis relatif yang terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya perbedaan respons kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung, perubahan sirkulasi darah, usia, genetik dsb., sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim, menjadi relatif terlalu besar pada pasien-pasien tertentu.
Selain itu efek ini juga bisa terjadi karena interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik antar obat yang diberikan bersamaan, sehingga efek obat menjadi lebih besar.
Efek samping jenis ini umumnya dijumpai pada pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat, obat-obat pemacu jantung, antihipertensi dan hipoglikemika/antidiabetika. Beberapa contoh spesifik dari jenis efek samping ini misalnya:
a.       Depresi respirasi pada pasien-pasien bronkitis berat yang menerima pengobatan dengan morfin atau benzodiazepin.
b.      Hipotensi yang terjadi pada stroke, infark miokard atau kegagalan ginjal pada pasien yang menerima obat antihipertensi dalam dosis terlalu tinggi.
c.       Bradikardia pada pasien-pasien yang menerima digoksin dalam dosis terlalu tinggi.
d.      Palpitasi pada pasien asma karena dosis teofilin yang terlalu tinggi.
e.       Hipoglikemia karena dosis antidiabetika terlalu tinggi.
f.       Perdarahan yang terjadi pada pasien yang sedang menerima pengobatan dengan warfarin, karena secara bersamaan juga minum aspirin.
Semua pasien mempunyai risiko untuk mendapatkan efek samping karena dosis yang terlalu tinggi ini, dan upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan perhatian khusus terhadap kelompok-kelompok pasien dengan risiko tinggi tadi (penurunan fungsi ginjal, penurunan fungsi hepar, bayi dan usia lanjut). Selain itu riwayat pasien dalam pengobatan yang mengarah ke kejadian efek samping juga perlu diperhatikan.

2.      Respons karena penghentian obat
Gejala penghentian obat (=gejala putus obat, withdrawal syndrome) adalah munculnya kembali gejala penyakit semula atau reaksi pembalikan terhadap efek farmakologik obat, karena penghentian pengobatan. Contoh yang banyak dijumpai misalnya:
a.       Agitasi ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang mungkin terjadi pada penghentian pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat seperti barbiturat, benzodiazepin dan alkohol,
b.      Krisis Addison akut yang muncul karena penghentian terapi kortikosteroid,
c.       Hipertensi berat dan gejala aktivitas simpatetik yang berlebihan karena penghentian terapi klonidin
d.      Gejala putus obat karena narkotika,
Reaksi putus obat ini terjadi, karena selama pengobatan telah berlangsung adaptasi pada tingkat reseptor. Adaptasi ini menyebabkan toleransi terhadap efek farmakologik obat, sehingga umumnya pasien memerlukan dosis yang makin lama makin besar (sebagai contoh berkurangnya respons penderita epilepsi terhadap fenobarbital/fenitoin, sehingga dosis perlu diperbesar agar serangan tetap terkontrol). Reaksi putus obat dapat dikurangi dengan cara menghentikan pengobatan secara bertahap misalnya dengan penurunan dosis secara berangsur-angsur, atau dengan menggantikan dengan obat sejenis yang mempunyai aksi lebih panjang atau kurang poten, dengan gejala putus obat yang lebih ringan.

3.      Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama
Efek-efek samping yang berbeda dari efek farmakologik utamanya, untuk sebagian besar obat umumnya telah dapat diperkirakan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan secara sistematik sebelum obat mulai digunakan untuk pasien. Efek-efek ini umumnya dalam derajad ringan namun angka kejadiannya bisa cukup tinggi. Sedangkan efek samping yang lebih jarang dapat diperoleh dari laporan-laporan setelah obat dipakai dalam populasi yang lebih luas .
Data efek samping berbagai obat dapat ditemukan dalam buku-buku standard, umumnya lengkap dengan perkiraan angka kejadiannya. Sebagai contoh misalnya:
a.       Iritasi lambung yang menyebabkan keluhan pedih, mual dan muntah pada obat-obat kortikosteroid oral, analgetika-antipiretika, teofilin, eritromisin, rifampisin, dan lain-lain.

b.      Rasa ngantuk (drowsiness) setelah pemakaian antihistaminika untuk anti mabok perjalanan (motion sickness).
c.       Kenaikan enzim-enzim transferase hepar karena pemberian rifampisin.
d.      Efek teratogenik obat-obat tertentu sehingga obat tersebut tidak boleh diberikan pada wanita hamil
e.       Penghambatan agregasi trombosit oleh aspirin, sehingga memperpanjang waktu pendarahan.
f.       Ototoksisitas karena kinin/kinidin, dsb.

Efek samping yang tidak dapat diperkirakan, terbagi atas:
1.      Reaksi alergi
Alergi obat atau reaksi hipersensitivitas merupakan efek samping yang sering terjadi, dan terjadi akibat reaksi imunologik. Reaksi ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya, seringkali sama sekali tidak tergantung dosis, dan terjadi hanya pada sebagian kecil dari populasi yang menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat bervariasi dari bentuk yang ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat berupa syok anafilaksi yang bisa fatal. Reaksi alergi dapat dikenali berdasarkan sifat-sifat khasnya, yaitu:
a.       Gejalanya sama sekali tidak sama dengan efek farmakologiknya
b.      Seringkali terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap obat dengan timbulnya efek
c.       Reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun hanya dengan sejumlah sangat kecil obat
d.      Reaksi hilang bila obat dihentikan
e.       Keluhan/gejala yang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi imunologik, misalnyarash (=ruam) di kulit, serum sickness, anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema, dan lain-lain


Dikenal 4 macam mekanisme terjadinya alergi, yakni:
a.       Tipe I. Reaksi anafilaksis: yaitu terjadinya interaksi antara antibodi IgE pada sel mast  dan leukosit basofil dengan obat atau metabolit, menyebabkan pelepasan mediator yang menyebabkan reaksi alergi, misalnya histamin, kinin, 5-hidroksi triptamin, dan lain-lain. Manifestasi efek samping bisa berupa urtikaria, rinitis, asma  bronkial,  angio-edema  dan   syok  anafilaktik.  Syok anafilaktik  ini  merupakan  efek samping yang paling ditakuti. Obat-obat yang sering menyebabkan adalah penisilin, streptomisin, anestetika lokal, media kontras yang mengandung jodium .
b.      Tipe II. Reaksi  sitotoksik:  yaitu  interaksi  antara  antibodi  IgG,  IgM  atau IgA  dalam  sirkulasi  dengan  obat, membentuk kompleks yang akan menyebabkan lisis sel, Contohnya adalah trombositopenia karena kuinidin/kinin, digitoksin, dan rifampisin, anemia hemolitik karena pemberian penisilin, sefalosporin, rifampisin, kuinin dan kuinidin, dan lain-lain.
c.       Tipe III. Reaksi   imun-kompleks:   yaitu   interaksi   antara   antibodi   IgG  dengan   antigen   dalam   sirkulasi, kemudian   kompleks   yang   terbentuk  melekat   pada   jaringan   dan   menyebabkan   kerusakan endotelium kapiler. Manifestasinya berupa keluhan demam, artritis, pembesaran limfonodi, urtikaria, dan  ruam  makulopapular.  Reaksi  ini  dikenal  dengan  istilah "serum sickness", karena umumnya muncul setelah penyuntikan dengan serum asing (misalnya anti-tetanus serum).
d.      Tipe IV. Reaksi dengan media sel: yaitu sensitisasi limposit T oleh kompleks antigen-hapten-protein, yang kemudian baru  menimbulkan  reaksi  setelah kontak  dengan  suatu  antigen,  menyebabkan  reaksi inflamasi.  Contohnya adalah  dermatitis  kontak  yang  disebabkan  salep  anestetika  lokal,  salep antihistamin, antibiotik dan antifungi topikal.


Walaupun mekanisme efek samping dapat ditelusur dan dipelajari seperti diuraikan di atas, namun dalam praktek klinik manifestasi efek samping karena alergi yang akan dihadapi oleh dokter umumnya akan meliputi:
a.      Demam
Umumnya demam dalam derajad yang tidak terlalu berat, dan akan hilang dengan sendirinya setelah penghentian obat beberapa hari.
b.      Ruam kulit (skin rashes)
Ruam dapat berupa eritema, urtikaria, vaskulitis kutaneus, purpura, eritroderma dan dermatitis eksfoliatif, fotosensitifitas, erupsi, dan lain-lain.
c.       Penyakit jaringan ikat
Merupakan gejala lupus eritematosus sistemik, kadang-kadang melibatkan sendi, yang dapat terjadi pada pemberian hidralazin, prokainamid, terutama pada individu asetilator lambat.
d.      Gangguan sistem darah
Trombositopenia,   neutropenia   (atau   agranulositosis), anemia  hemolitika,   dan   anemia   aplastika  merupakan efek yang kemungkinan akan dijumpai, meskipun angka kejadiannya mungkin relatif jarang.
e.       Gangguan pernafasan
Asma akan merupakan kondisi yang sering dijumpai, terutama karena aspirin. Pasien yang telah diketahui sensitif terhadap aspirin kemungkinan besar juga akan sensitif terhadap analgetika atau antiinflamasi lain.

2.      Reaksi karena faktor genetik
Pada orang-orang tertentu dengan variasi atau kelainan genetik, suatu obat mungkin dapat memberikan efek farmakologik yang berlebihan. Efek obatnya sendiri dapat diperkirakan, namun subjek yang mempunyai kelainan genetik seperti ini yang mungkin sulit dikenali tanpa pemeriksaan spesifik (yang juga tidak mungkin dilakukan pada pelayanan kesehatan rutin). Sebagai contoh misalnya:
a.       Pasien yang menderita kekurangan pseudokolinesterase herediter tidak dapat memetabolisme suksinilkolin (suatu pelemas otot), sehingga bila diberikan obat ini mungkin akan menderita paralisis dan apnea yang berkepanjangan.
b.      Pasien yang mempunyai kekurangan enzim G6PD (glukosa-6-fosfat dehidrogenase) mempunyai potensi untuk menderita anemia hemolitika akut pada pengobatan dengan primakuin, sulfonamida dan kinidin.
Kemampuan metabolisme obat suatu individu juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Contoh yang paling populer adalah perbedaan kemampuan metabolisme isoniazid, hidralazin dan prokainamid karena adanya peristiwa polimorfisme dalam proses asetilasi obat-obat tersebut. Berdasarkan sifat genetik yang dimiliki, populasi terbagi menjadi 2 kelompok, yakni individu-individu yang mampu mengasetilasi secara cepat (asetilator cepat) dan individu-individu yang mengasetilasi secara lambat (asetilator lambat). Di Indonesia, 65% dari populasi adalah asetilator cepat, sedangkan 35% adalah asetilator lambat. Pada kelompok-kelompok etnik/sub-etnik lain, proporsi distribusi ini berbeda-beda. Efek samping umumnya lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat daripada asetilator cepat. Sebagai contoh misalnya:
a.       Neuropati perifer karena isoniazid lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat
b.      Sindroma lupus karena hidralazin atau prokainamid lebih sering terjadi pada asetilator lambat.
Pemeriksaan untuk menentukan apakah seseorang termasuk dalam kelompok asetilator cepat atau lambat sampai saat ini belum dilakukan sebagai kebutuhan rutin dalam pelayanan kesehatan, namun sebenarnya prosedur pemeriksaannya tidak sulit, dan dapat dilakukan di Laboratorium Farmakologi Klinik.

3.      Reaksi idiosinkratik
Istilah idiosinkratik digunakan untuk menunjukkan suatu kejadian efek samping yang tidak lazim, tidak diharapkan atau aneh, yang tidak dapat diterangkan atau diperkirakan mengapa bisa terjadi. Untungnya reaksi idiosinkratik ini relatif sangat jarang terjadi. Beberapa contoh misalnya:
a.       Kanker pelvis ginjal yang dapat diakibatkan pemakaian analgetika secara serampangan.
b.      Kanker uterus yang dapat terjadi karena pemakaian estrogen jangka lama tanpa pemberian progestogen sama sekali.
c.       Obat-obat imunosupresi dapat memacu terjadinya tumor limfoid.
d.      Preparat-preparat besi intramuskuler dapat menyebabkan sarkomata pada tempat penyuntikan.
e.       Kanker tiroid yang mungkin dapat timbul pada pasien-pasien yang pernah menjalani perawatan iodium-radioaktif sebelumnya.

D.           Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Efek Samping Obat
Setelah melihat uraian di atas, maka kemudian dapat diidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong terjadinya efek samping obat. Faktor-faktor tersebut ternyata meliputi:
1.      Faktor bukan obat
Faktor-faktor pendorong yang tidak berasal dari obat antara lain adalah:
a.       Intrinsik dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi, penyakit, sikap dan kebiasaan hidup.
b.      Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran oleh antibiotika.
2.      Faktor obat
a.       Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek samping.
b.      Pemilihan obat
c.       Cara penggunaan obat
d.      Interaksi antar obat

E.            Upaya Pencegahan dan Penanganan Efek Samping Obat
Masing-masing obat mempunyai keunggulan dan kekurangan masing-masing, baik dari segi manfaat maupun kemungkinan efek sampingnya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah, jangan terlalu terpaku pada obat baru, di mana efek-efek samping yang jarang namun fatal kemungkinan besar belum ditemukan. Sangat bermanfaat untuk selalu mengikuti evaluasi/penelaahan mengenai manfaat dan risiko obat, dari berbagai pustaka standard maupun dari pertemuan-pertemuan ilmiah. Selain itu penguasaan terhadap efek samping yang paling sering dijumpai atau paling dikenal dari suatu obat akan sangat bermanfaat dalam melakukan evaluasi pengobatan.
1.      Upaya pencegahan
Agar kejadian efek samping dapat ditekan serendah mungkin, selalu dianjurkan untuk melakukan hal-hal berikut:
a.       Selalu harus ditelusur riwayat rinci mengenai pemakaian obat oleh pasien pada waktu-waktu sebelum pemeriksaan, baik obat yang diperoleh melalui resep dokter maupun dari pengobatan sendiri
b.      Gunakan obat hanya bila ada indikasi jelas, dan bila tidak ada alternatif non-farmakoterapi
c.       Hindari pengobatan dengan berbagai jenis obat dan kombinasi sekaligus
d.      Berikan perhatian khusus terhadap dosis dan respons pengobatan pada: anak dan bayi, usia lanjut, dan pasien-pasien yang juga menderita gangguan ginjal, hepar dan jantung. Pada bayi dan anak, gejala dini efek samping seringkali sulit dideteksi karena kurangnya kemampuan komunikasi, misalnya untuk gangguan pendengaran
e.       Perlu ditelaah terus apakah pengobatan harus diteruskan, dan segera hentikan obat bila dirasa tidak perlu lagi
f.       Bila dalam pengobatan ditemukan keluhan atau gejala penyakit baru, atau penyakitnya memberat, selalu ditelaah lebih dahulu, apakah perubahan tersebut karena perjalanan penyakit, komplikasi, kondisi pasien memburuk, atau justru karena efek samping obat

2.      Penanganan efek samping
Dengan melihat jenis efek samping yang timbul serta kemungkinan mekanisme terjadinya, pedoman sederhana dapat direncanakan sendiri, misalnya seperti berikut ini:
a.       Segera hentikan semua obat bila diketahui atau dicurigai terjadi efek samping. Telaah bentuk dan kemungkinan mekanismenya. Bila efek samping dicurigai sebagai akibat efek farmakologi yang terlalu besar, maka setelah gejala menghilang dan kondisi pasien pulih pengobatan dapat dimulai lagi secara hati-hati, dimulai dengan dosis kecil. Bila efek samping dicurigai sebagai reaksi alergi atau idiosinkratik, obat harus diganti dan obat semula sama sekali tidak boleh dipakai lagi. Biasanya reaksi alergi/idiosinkratik akan lebih berat dan fatal pada kontak berikutnya terhadap obat penyebab. Bila sebelumnya digunakan berbagai jenis obat, dan belum pasti obat yang mana penyebabnya, maka pengobatan dimulai lagi secara satu-persatu.
b.      Upaya penanganan klinik tergantung bentuk efek samping dan kondisi penderita. Pada bentuk-bentuk efek samping tertentu diperlukan penanganan dan pengobatan yang spesifik. Misalnya untuk syok anafilaksi diperlukan pemberian adrenalin dan obat serta tindakan lain untuk mengatasi syok. Contoh lain misalnya pada keadaan alergi, diperlukan penghentian obat yang dicurigai, pemberian antihistamin atau kortikosteroid (bila diperlukan), dan lain-lain.
Berikut ini adalah contoh dari efek samping obat yang biasanya terjadi:
a.       Kerusakan janin, akibat Thalidomide dan Accutane
b.      Pendarahan usus, akibat Aspirin
c.       Penyakit kardiovaskular, akibat obat penghambat COX-2
d.      Tuli dan gagal ginjal, akibat antibiotik Gentamisin
e.       Kematian, akibat Propofol
f.       Depresi dan luka pada hati, akibat Interferon
g.      Diabetes, yang disebabkan oleh obat-obatan psikiatrik neuroleptik
h.      Diare, akibat penggunaan Orlistat
i.        Disfungsi ereksi, akibat antidepresan
j.        Demam, akibat vaksinasi
k.      Glaukoma, akibat tetes mata kortikosteroid
l.        Rambut rontok dan anemia, karena kemoterapi melawan kanker atau leukemia
m.    Hipertensi, akibat penggunaan Efedrin. Hal ini membuat FDA mencabut status ekstrak tanaman efedra (sumber efedrin) sebagai suplemen makanan
n.      Kerusakan hati akibat Parasetamol
o.      Mengantuk dan meningkatnya nafsu makan akibat penggunaan antihistamin
p.      Stroke atau serangan jantung akibat penggunaan Sildenafil (Viagra)
q.      Bunuh diri akibat penggunaan Fluoxetine, suatu antidepresan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

soal pramuka tali temali

Tugas Meresum Perjalanan Obat Dalam Tubuh Manusia versi Abdul Gofur

SOAL AKIDAH AKHLAK VERSI ABDUL GOFUR